Kamis, 15 Juli 2021

Terpaksa Menulis

       Mengarang Indah di Kertas Putih


    Terkenang masa kecil ketika duduk di bangku sekolah dasar, setiap kali ulangan Bahasa Indonesia yang paling ditakuti adalah lembaran kertas polio kosong yang harus segera di isi dengan karangan/cerita. rasanya mau menangis darah memikirkan apa yang harus ditulis. 

    5 ment berlalu hanya dengan bertopang dagu memainkan bulpoint mengetuk meja sambil sedikit celingak-celinguk melihat kertas kosong teman-teman mulai terisi paragraf demi paragraf. ah sementara kertas milikku masih bersih kosong putih apa adanya, kecuali satu hal saja yang tertulis di sana hanya sebuah nama, namaku sendiri.

    Tanpa terasa setengah jam pun berlalu, hahhhhh pekerjaan yang tidak mudah untuk menyusun kata demi kata menjadi sebuah kalimat, merangkai kalimat demi kalimat menjadi sebuah paragraf cerita buat anak seperti ku yang tidak terlalu pandai dalam berbahasa.

    Suatu ketika ibuku di panggil kesekolah karena nilai bahasa ku yang kecil dibawah rata-rata, pesan guru SD ku kepada ibu "belikan buku IBI (Intisari Bahasa Indonesia) dan sastra indoneisa" entah apa hubungan kedua buku itu terhadap diriku tetap saja aku tidak dapat menulis cerita melebihi satu paragraf saja. satu paragraf yang ku tulis dengan susah payah mengeluarkan isi otak ku yang beku. Aku tak punya ide.

    Waktu pun berlalu, aku sudah duduk di kelas 3 SMP. Saat itu menulis adalah momok menakutkan dibandingkan dengan rangkaian rumus matematika dan fisika. Sekali lagi ujian akhir melelahkan karena masih ada kertas polio kosong yang dibagikan untuk di isi dengan cerita, jiwa ku protes, bathin ku berontak namun apa daya mulutku terkatup, "mengapa aku terus dipaksa menulis?""tidak semua orang mampu menulis, seperti tidak semua orang bisa matematika dan fisika" why why why???

    Suatu ketika di kelas dua SMA kami di minta menulis prosa pendek, masih dengan gaya ku semula yang selalu acuh tak acuh jika berhadapan dengan pelajaran Bahasa Indonesia, ku buka juga buku tulis ku  Mencoba menuangkan ide karena tema yang diberitakan bebas. Pindah dari ruang kelas ke kamar ku masih memegang buku tulis yang belum satu kata pun tergores di dalamnya, sambil tiduran ku banyangkan jingga yang selalu kulihat saat pulang dari les setiap sorenya, akhirnya prosa pertama ku pun jadi ku beri judul "Jingga di sebuah dermaga". 

    Nilai 9 pertama untuk sebuah karangan seumur hidup pun akhirnya kudapat, suatu hal yang tak pernah kubayangkan dan kuimpikan untuk pelajaran bahasa yang tidak pernah beranjak dari angka 6. Air pun membendung di pelupuk mata setelah xi tahun duduk di bangku sekolah untuk pertama kalinya aku dapat menenun kata-kata menjadi cerita, apa yang ada di hati saja kugoreskan dalam catatan, ternyata oh ternyata walaupun terpaksa kudapat menulis juga.


Malam dingin semakin larut 

Suara jangkrik pun terdengar

Kucoba menulis walau tak urut

Meskipun susah ku tetap belajar


Kace Timur, 15 Juii 2021

penuh harapan 

Derliana,S.Si

6 komentar:

  1. Kisah yang seru. Inspiratif. Luar biasa. Akhirnya bisa jua. Selamat atas nilainya. Pasti akan terkenang selamanya.

    BalasHapus
  2. Pengalaman yang sama kualami, ternyata pada zaman itu, Pendidikan Sekolah Dasar sudah melatih literasi menulis tapi tanpa ada bimbingan guru. Namun meskipun Cikgu benci pada akhirnya sempat mendapat nilai 9. Cikgu Luar biasa. Benci tapi rindu 😀💪

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya sangat membingungkan selalu muai dengan katanpada suatu hari 😅 karena literasi waktu anak kecil itu kebanyakan dongeng seperti si kancil dan buya

      Hapus
  3. mantaff...! lanjut cik...kutunggu karya2 yg lain...

    BalasHapus

peduli

Aku keguguran, Kuhatus merawat anak2 ku  Si abangbpositif covid Adek rewel masih kelelahan Sang ayuk tak persuli ia hanya pulang saat lapar ...